Lentera Takjub – Sebuah papan reklame besar di samping jalan raya (yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan) baru saja memasang gambar baru.
Berbeda dengan biasanya, isinya bukan lagi iklan driver online atau provider, tapi sebuah ucapan untuk Charles Krantz alias Chuck atas pengabdiannya selama 39 tahun.
Penghargaan itu dibuat dengan 3 font yang berbeda, serta foto Chuck yang sedang duduk di kantor dengan jas dan kacamata kebanggaannya, sembari tersenyum menghadap ke depan.
Dari reklame tersebut, kita bisa tahu kalau Chuck kemungkinan besar adalah seorang akuntan, dan akan segera pensiun dari pekerjaannya.
Meski terkesan norak, pemandangan itu sukses menarik perhatian para pengendara yang sedang dihantui kemacetan yang cukup panjang.
Seseorang dari mereka bahkan tak kuasa menggertakan gigi sambil menahan tawa yang seolah akan meledak dari mulutnya. “Dia pikir dia ini siapa? Penting amat sampai harus dibuatkan reklame segala,” celetuknya.
Meski kasar, pengendara tersebut ada benarnya. Lagipula dunia saat ini sedang bersiap menghadapi kiamat, dan banyak yang memutuskan resign dari pekerjaannya untuk menghabiskan menit-menit akhir bersama hal yang mereka anggap penting: Entah itu peliharaan, kerabat, keluarga, kekasih, bahkan sekaleng bir.
Jadi tak ada yang spesial dengan iklan tersebut, karena literally, semua orang di film ini sedang melakukannya.
Lalu, apa pentingnya reklame pensiunan di tengah dunia yang sedang sekarat?
Bagi yang belum pernah baca novelnya atau melihat trailernya (seperti saya), mungkin akan mengira jika film ini adalah tentang akhir dunia.
Anggapan itu semakin diperkuat dengan adegan-adegan berikutnya yang memperlihatkan kepanikan ketika internet mulai tak bisa diakses, listrik mulai padam total, dan bintang-bintang mulai perlahan lenyap dari langit.
Di momen ini, semua hal duniawi seolah tak lagi penting. Yang mereka butuhkan pada akhirnya hanyalah satu, yakni sebuah kekuatan untuk menghadapi rasa takut terhadap berbagai hal buruk yang akan segera terjadi, serta bersama siapa mereka akan merasakannya.
Namun, di sinilah titik kejutnya. Dalam semua kepanikan itu, perlahan kita sadar, kalau realita yang kita tonton di film ini bukanlah semesta tempat kita tinggal, melainkan dunia di dalam kepala Chuck yang akan segera punah mengiringi tubuhnya yang sekarat akibat penyakit berbahaya.
Kesadaran itu langsung menghujam kita dengan sebuah fakta, bahwa siapapun kita, terlepas bahagia atau tidak, telah dianugerahi dunia sendiri di dalam kepala kita.
Begitu kita mati, mereka pun mati.
Sebuah karya terbaru dari Mike Flanagan
The Life of Chuck merupakan adaptasi dari novel karya Stephen King.
Novel yang awalnya banyak dicap ‘sulit untuk difilmkan’ ini digubah dengan kuat oleh Mike Flanagan yang bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis skenarionya.
Bagi yang belum tahu, Mike sebelumnya dipuji lewat kelihaiannya mengadaptasi dua novel Stephen King, yakni Gerald’s Game (2017) dan Doctor Sleep (2019) yang merupakan sekual dari film horor lawas The Shining (1980).
Lalu, apakah Mike layak mendapat pujian di film ini? Jawabannya tntu saja. Tidak mudah untuk ditonton memang. Namun memuat banyak refleksi tentang kehidupan.
3 Bagian yang penting
The Life of Chuck dibagi menjadi tiga bagian dan disajikan terbalik.
Di sepanjang film, Mike memilih untuk tidak menampilkan dramatisasi berlebihan. Tidak ada musik pengiring yang memaksa air mata jatuh, atau dialog-dialog klise yang terdengar seperti motivator gagal naik panggung.
Para aktor di sini juga tampil dengan banyak menonjolkan keheningan, kehangatan dan kekosongan yang justru sangat manusiawi. Semua terasa tidak dibuat-buat, dan kian membawa kita larut ke dalam ceritanya.
Tom Hiddleston sebagai Chuck contohnya. Ia tampil seperti seseorang yang kamu kenal. Kau mungkin pernah menemukan sosok ini sebagai tetanggamu, rekan kerja yang selalu diam saat rapat Zoom, atau bahkan kamu sendiri.
Jadi siapa Chuck?
Kembali ke pertanyaan pengendara nyinyir di awal tadi, Chuck di sini adalah sebagian besar dari kita. Seseorang yang eksistensinya tidak dikenal begitu luas. Bukan penemu vaksin, bukan pendaki Everest, bukan juga anak orang kaya yang mengajar tentang nikmatnya berjuang dari nol.
Namun, dalam kebukan siapa-siapanya, Chuck mengingatkan bahwa siapapun dan sekecil apapun kita, kita tetaplah tokoh utama di kepala kita.
Segala hal yang kita sukai dan lalui, secara perlahan akan membentuk sebuah kehidupan kecil di kepala kita. Entah itu terangkum di feeds Instagram atau dibiarkan tersembunyi di dalam kepala, kehidupan tersebut akan terus tumbuh seiring waktu.
Dan seperti Chuck, tugas kita hanya satu, yakni terus mengalami banyak hal sampai cerita kita utuh dan berakhir layaknya sebuah hari kiamat.
Jadi jelaslah sudah, The Life of Chuck bukan film tentang kehancuran dunia, tetapi tentang dunia kecil yang kita bawa kemana-mana. Di kepala, di hati, dan di setiap langkah pulang.
Film ini layak dapat skor 7. Wajib ditonton jika kamu menyukai sesuatu yang puitis dan kontemplatif.