Dracula A Love Tale Review: Digarap Sutradara Laga, Malah Makin Mellow

Lentera Takjub – Serius, kapan akan ada film Dracula yang betul-betul setia sama bukunya? Karena di luar kejeniusan sutradara Francis Ford Coppola saat meng-visualisasikan kisah ini di layar lebar 1992 silam, ia telah melakukan sebuah “dosa besar” dengan menyuntikan sisi drama yang sangat besar ke karakternya.

Ya! Dracula, makhluk bengis haus darah yang seharusnya bikin kita merinding, dijadikan Coppola sebagai Romeo abadi yang tak bisa move on usai berabad-abad kehilangan cinta sejatinya.

Kisah ini kian agak menyesakkan hati, setelah menyadari bahwa Count Orlok dari film Nosferatu (1922, 2024) –yang merupakan versi bajakan dari buku Dracula karya Bram Stoker– justru mampu tampil sesuai novelnya.

Visual Dracula versi Francis Ford Coppola di tahun 1992
Visual Dracula versi Francis Ford Coppola di tahun 1992

Dracula = Vlad The Impaler?

Sebelum yapping kemana-mana, perlu saya ingatkan kalau Dracula versi Coppola sama sekali tidak jelek.

Perlu diapresiasi ketika naskahnya menyuntikkan sosok nyata Vlad The Impaler (Vlad III) ke karakter Dracula.

Pernyatuan makhluk haus darah dan sosok Vlad yang menakutkan, sukses memberi gambaran yang jauh lebih masuk akal untuk diterima kepala manusia. Ibaratnya, andai saja tak ada embel-embel cinta, sosok ini pasti akan membuat siapapun bergidik saat mendengarnya.

Bahkan saking masuk akalnya narasi yang dibuat, Rumania, yang merupakan negara tempat Vlad berkuasa, diserbu para turis.

Mereka berbondong-bondong datang ke sana untuk mengunjungi istana kediaman Vlad, dengan ekspektasi melihat langsung gambaran nyata sang makhluk haus darah di masa hidupnya.

Sosok asli Vlad The Impaler
Sosok asli Vlad The Impaler

Padahal, Vlad di dunia nyata adalah pahlawan nasional. Namanya dikenal bukan hanya karena kemampuannya menjaga wilayah Wallachia dari invasi Kekaisaran Ottoman di abad ke-15, tapi juga lantaran kekejaman hukuman “sula” yang diterapkannya, di mana ia menusuk sate ribuan musuhnya dalam keadaan hidup-hidup, lalu dipajang bak hiasan kemerdekaan.

Sedikit catatan, Vlad adalah pemimpin dari Wallachia. Wilayah ini merupakan satu dari tiga kerajaan utama, Transylvania dan Moldavia, yang di masa depan menyatu menjadi Rumania.

Jadi kebayang enggak sih, gimana reaksi Vlad saat banyak orang datang ke kastilnya karena mengira ia Dracula sungguhan, haha.

Tapi, mungkin daripada membuat wisatawan kecewa, para pengelola kastil pun akhirnya mengamini khayalan para “korban Coppola” dengan menyediakan beberapa peti mati dan ornamen Dracula di kastil sebagai bagian dari atraksi tur.

Mereka biasanya baru menjelaskan di akhir tur bahwa Vlad dan Dracula adalah dua sosok berbeda.

(Oke, malah melantur kemana-mana. Ayo kita kembali membahas filmnya).

Dracula versi sutradara Luc Besson
Dracula versi sutradara Luc Besson

Review Dracula: A Love Tale

Nah, 33 tahun setelah meledaknya karya Coppola, sutradara laga Luc Besson kembali menghidupkan sosok Dracula ke layar lebar.

Sayangnya, alih-alih, menghadirkan makhluk peminum darah versi brutal, ia justru mengulang formula Coppola, dengan dosis bucin yang kebablasan.

Saya sempat mengira akan ada percampuran antara Leon The Professional, La Femme Nikita, dengan kekelaman kisah Bram Stoker… Namun, Luc Besson nampaknya lebih suka menjadi Luc Bestie saat menggarap film ini.

Di Dracula: A Love Tale, Vlad alias Dracula (kali ini diperankan Caleb Landry Jones), digambarkan sebagai sosok pangeran disney versi gothic yang menderita lahir batin karena kehilangan istrinya, Elisabeta (Zoë Bleu).

Film ini lebih menekankan cinta abadi ketimbang horor murni, bukan Dracula vs manusia, tapi Dracula vs waktu, di mana ia terjebak dalam keabadian yang sunyi, menunggu reinkarnasi dari cinta yang direnggut darinya.

Sebagai gambaran, kalau dibandingkan dengan Dracula Untold (film 2014 yang kian ga karuan absurdnya), film ini lebih intim. Jika dibandingkan Coppola, film ini lebih lirih, lebih puitif ketimbang teatrikal.

Di berbagai adegan yang disuguhkan, Dracula: A Love Tale terasa betul memaksa penontonnya untuk ikut menangis. Kesan ini sangat kuat, membuat sosoknya pantas menyandang gelar makhluk penyedot air mata.

Tapi, kerja keras itu tidak sepenuhnya berhasil. Karena jujur saja, hati saya jauh lebih teriris kala melihat film seekor anjing jepang bernama Hachiko yang bolak balik ke stasiun menunggu tuannya yang tak kunjung pulang, ketimbang melihat pria dewasa yang menggali makam istrinya dan menangis di dalamnya usai ratusan tahun ditinggal mati.

Aargh, intinya semurni itulah hati Draculanya. Andai saja The Great Gatsby atau Romeo hidup di era yang sama, mungkin mereka akan ngeteh bareng di sore hari, sambil saling menguatkan…

Pada akhirnya, Dracula: A Love Tale lebih cocok dinikmati sebagai romantic gothic tragedy daripada film horor klasik.

Film ini cukup unggul dalam hal visual, kostum serta scorenya. Namun hampir tak menawarkan apa-apa, selain kesedihan di sepanjang durasi serta ending yang jauh lebih klise.

Skor dari saya, sepertinya 6.5 saja. Kamu bisa menontonnya bersama istri atau suami, lalu menggombal kepadanya kalau kamu akan sama setianya seperti Vlad. Biasanya berhasil sih, minimal dapat kecupan dan teh manis yang hangat, hehe…

Sebagai penutup, mau nanya lagi, kapan nih, ada Dracula yang sesuai dengan novelnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!