Lentera Takjub – Memilih genre slasher rasanya seperti menaiki wahana murah di pasar malam. Kamu tahu persis kapan akan berteriak, kapan harus pura-pura kaget, dan di mana letak tikungan tajamnya. Kecuali, (amit-amit) ada masalah teknis yang bisa bikin celaka beneran, rasa takut atau kengerian yang ditawarkan biasanya enggak akan jauh berbeda dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Tapi, mau serepetitif apapun, tetap saja, it’s a guilty pleasure. Kita pasti akan naik lagi dan lagi, berharap ada satu-dua kejutan yang bikin perjalanan kali ini patut diingat.
Nah, ngomong-ngomong soal ini, Beberapa tahun belakangan ada beberapa yang berhasil menjawab doa itu. Mulai dari masuknya tema time loop seperti di film The Final Girls (2015) dan Happy Death Day (2017); hingga yang menggendong nostalgia seperti Totally Killer (2023) yang cukup menawan itu (oke, nostalgia di sini maksudnya bukan seperti sekuel dari Scream atau Halloween, namun atmosfer 90-an yang bisa membuat kaum milenial jadi sedikit melupakan penuaannya).
Lalu pertanyaannya, apakah Clown in the Cornfield boleh bergabung ke daftar tadi? Jawabannya… tergantung. Kalau kamu sudah muak dengan parade remaja rebel yang selalu jadi target utama pembunuh bertopeng, mungkin kamu akan kaget, karena kali ini para karakternya cukup… loveable. Serius. Bahkan agak terlalu manis untuk ukuran korban slasher.
Kenakalan mereka terasa sangat cupu untuk ukuran calon korban. Seperti contohnya tokoh Cole (diperankan Carson MacCormac) yang nekat mengambil diam-diam minuman alkohol dari toko liquor karena belum cukup umur, tapi tak lupa untuk menyisipkan uang pembeliannya (bahkan dua kali dari harga aslinya).
Atau… ketika ia menolak saat diajak berhubungan intim oleh gadis kota yang cantik, atau saat tokoh-tokoh lainnya, menghabiskan waktu mereka dengan mengerjakan PR dan memastikan kebersihan rumah, sampai memilih nge-gym untuk menjaga kesehatan.
Apakah ini terobosan nakal baru dari para Gen Z? Entahlah… Yang pasti, tak ada satupun kelakuan yang bikin kita berpikir, “mereka pantas dicincang.” Yep, enggak ada. Tapi tetap aja, beberapa dari mereka berakhir jadi daging potong.
Disutradarai oleh Eli Craig, Clown in the Cornfield bercerita tentang seorang remaja wanita bernama Quinn (Katie Douglas) yang pindah ke desa Kettle Springs bersama sang ayah Dr. Glenn (Aaron Abrams) untuk memulihkan diri dari trauma.
Diceritakan, tak butuh waktu lama bagi Quinn untuk mendapat teman baru. Ia bahkan langsung akrab dengan geng remaja nakal yang dikepalai Cole, putra dari walikota Kettle Springs, Arthur Hill sekaligus pewaris perusahaan Baypen, pabrik sirup jagung terbesar di desa tersebut, yang terkenal dengan maskot badutnya yang bernama Frendo.
Setelah beberapa kali nongkrong bareng, Cole kemudian bercerita kepada Quinn tentang kekecewaannya pada tradisi kolot Kettle Springs, serta rasa trauma pada kecelakaan mengerikan di pabrik Baypen yang menewaskan adiknya.
Sebagai bentuk supportnya, Quinn kemudian bergabung dengan Cole dkk untuk membuat video parodi, dimana mereka menampilkan Frendo sebagai sosok badut pembunuh, yang membantai para remaja di Kettle Springs.
Saya enggak tahu apakah aksi mereka layak disebut kenakalan, atau sebuah hasil yang menjanjikan dari kelompok prakarya seni. Karena jujur, ketika dipertontonkan, film pendeknya cukup bagus untuk ukuran karya remaja. Terutama kalau melihat berbagai prop yang dipakai mereka untuk menyuguhkan adegan pembantaian yang brutal.
Namun, namanya Gen Z… selalu saja salah di mata para senior. Lihat saja kejengkelan sherif di sana (lupa yang main siapa), yang selalu menyalahkan mereka untuk setiap masalah yang terjadi di Kettle Springs, terutama ketika ia mendapati film pendek itu, yang dianggapnya telah mencoreng citra Frendo sebagai maskot kebanggaan desa.
Gak cuma si Sherif, kemarahan lain juga rupanya datang dari Frendo-nya sendiri (haha), yang kemudian mengumpulkan Frendo-Frendo lainnya, untuk mewujudkan film Cole menjadi sebuah kejadian nyata. Akhirnya ya mau gimana lagi, teror yang sesungguhnya pun dimulai.
Dari segi cerita, Clown in the Cornfield cukup enak untuk diikuti. Hal ini cukup wajar mengingat film ini merupakan adaptasi dari novel remaja berjudul sama karya Adam Cesare, yang rilis di tahun 2020.
Sebagai catatan, novelnya sendiri cukup sukses dan banyak mendapat pujian dari para pecinta novel horor. Jadi kasarannya, meski penyutradaraannya acak adut, film ini akan tetap punya cerita yang lumayan enak lah, asalkan skenarionya ga dirombak-rombak dan diisi plot twist enggak penting ala-ala horor murah masa kini.
Kabar baiknya, departemen penyutradaraan dan skenario bekerja maksimal dan cukup setia pada materi aslinya. Clown in the Cornfield akhirnya sukses tampil sebagai salah satu slasher yang menyenangkan untuk ditonton dan diingat beberapa tahun kedepan.
Ya, nilai 7 sepertinya bolehlah dihadiahkan kepada film ini. Silahkan tonton apabila sedang ada waktu luang.