Lentera Takjub – Pernah enggak kamu iseng-iseng melihat kembali akta kelahiran atau KTP-mu, lalu terlintas di pikiran kalau semua itu tidak mewakili dirimu yang sebenarnya, melainkan hanya label yang diberikan orangtua dan negara, lengkap beserta peraturan-peraturan yang mengikutinya?
Well, pemikiran seperti itu sebenarnya seru-seru saja saat dibahas bareng temanmu yang penggila teori konspirasi, sambil ngopi di atas jam 12 malam.
Tapi, akan jadi berbahaya jika terlalu kamu bawa serius, yang takutnya sih, memicu pikiran untuk memperjuangkan hal tersebut menjadi kebenaran versimu sendiri.
Karena percaya deh, meski terdengar seperti hasil obrolan orang insomnia yang kelamaan nongkrong di Reddit, di luar sana ada sekelompok manusia yang benar-benar percaya kalau mereka “merdeka secara spiritual dan hukum.”
Orang-orang tersebut dikasih label sovereign citizen, atau individu yang percaya bahwa mereka tidak harus tunduk pada hukum atau yurisdiksi pemerintah mana pun. Mereka menganggap bahwa sistem hukum, perpajakan, dan dokumen resmi negara (termasuk akta kelahiran dan KTP) tidak sah dan tidak berlaku, karena mereka telah menyatakan “kemerdekaan pribadi” dari entitas negara.
Itu mengapa, sovereign citizen menolak untuk membuat SIM, memiliki pajak dan asuransi kendaraan, membayar pajak rumah, dan berbagai kewajiban hukum lainnya. Mereka merasa kalau pemerintah tak punya hak atas hidup mereka (dan apapun yang mereka miliki).
Tragedi Sovereign
Merujuk pada beberapa sumber yang ada, sovereign citizen sendiri lahir dari ketidakpuasan terhadap sistem pajak dan pemerintah federal Amerika di era 1970-an. Gagasan tersebut akhirnya menjadi masalah serius, yang menggulung bak bola salju dari tahun ke tahun.
Salah satunya dampak besarnya, adalah tragedi penembakan dua polisi yang terjadi di West Memphis, Arkansas, Amerika Serikat, pada 2010 silam.
Kala itu, seorang ayah dan anak yang mengaku sebagai sovereign citizens, menolak untuk diperiksa polisi saat mengendarai mobil, dan akhirnya menembak mati dua petugas di tempat. Kejadian inilah yang kemudian diabadikan oleh Christian Swegal, dalam film debut penyutradaraan perdananya yang berjudul Sovereign.
Film yang cenderung tidak memihak
Mungkin sadar jika yang dibahas merupakan isu sensitif, Christian Swegal yang juga bertindak sebagai penulis naskah, tidak menyuguhkan film ini dengan nada menggurui layaknya dokumenter kaku.
Sebaliknya, Sovereign tampil sebagai thriller psikologis, yang berusaha dengan adil memberi latar belakang dari dua sisi, yakni dari para pelaku, serta para polisi yang menjadi korbannya.
Swegal juga enggak menggambarkan pelakunya, yakni Jerry Kane (diperankan oleh Nick Offerman) dan putranya Joe Kane (Jacob Trmblay) sebagai monster, melainkan manusia yang tersesat akibat rasa kecewa, isolasi, dan keinginan untuk punya kendali atas hidup.
Pemikiran Jerry digambarkan kian berbahaya setelah rumahnya terancam dilelang, dan berbagai upaya yang dilakukannya untuk mempertahankan haknya, gagal karena prinsipnya bertentangan dengan sistem yang ada.
Diceritakan pula bagaimana Jerry mulai berusaha menularkan prinsipnya, baik ke anaknya Joe, hingga membuat seminar berbayar.
Saya rasa, terlepas dari pesentasi Swegal yang cukup melelahkan, di situlah justru letak horornya, yakni ketika ancaman itu terbentuk, di mana ada seseorang yang merasa cukup tercerahkan untuk menolak semua bentuk realitas, dan bahkan berani memperjuangkannya ke elemen pemerintah, termasuk meja hijau.
Entah disengaja atau tidak, film ini juga sedikit menempatkan Joe sebagai korban. Betapa tidak? Anak ini hanya ingin menjadi remaja biasa yang punya kehidupan penuh tawa seperti teman-temannya.
Beberapa adegan menegaskan itu dengan mengajak kita untuk sedikit menelusuri dunia Joe, termasuk saat dia asyik beraktivitas bersama anak-anak seusianya, dengan senyum yang bolak-balik terpancar di wajahnya.
Sayangnya, paham sesat yang dimiliki Jerry terus merangsek paksa ke dalam kepala Joe. Anak malang itu akhirnya tak sadar telah ikut terjerumus ke kegelapan yang dibawa oleh ayahnya.
Dukungan para pemain yang solid
Dari departemen pemain, hampir semua aktor pendukung tampil dengan baik, termasuk Dennis Quaid yang berperan sebagai kepala kepolisian bernama John Bouchart, yang tak lain merupakan ayah dari Adam Boucart, salah seorang polisi yang menjadi korban dalam peristiwa ini.
Mungkin atas nama keadilan, dosa-dosa Boucart juga turut ditampilkan di film ini. Salah satunya saat ia menerapkan toxic maskulinity kepada anaknya, termasuk dengan melatih Adam untuk mencekik seseorang.
Semua adegan-adegan itu menyadarkan kita kalau Jerry dan Boucart bukanlah ayah yang baik. Keduanya sama-sama memaksakan prinsip pada anak-anak mereka, tanpa peduli apakah itu benar-benar hal yang dibutuhkan sang anak.
Penggambaran tragedi berdarah
Di luar segala pertunjukan dramanya yang terasa begitu kuat, tragedi berdarah yang jadi sajian utama Sovereneigh juga sukses tergambar dengan baik, muncul bak hadiah setelah penonton dipaksa menantang kantuk menghadapi pacenya yang cukup lambat.
Pada akhirnya, Sovereign hadir sebagai debut penyutradaraan yang cukup berani dari Christian Swegal, dan layak dapat skor 6.
Bukan film yang mudah ditonton memang, namun tetap pantas mendapat perhatian berkat perenungannya soal batas antara keyakinan pribadi dan tanggung jawab sosial.
Dari film ini, setidaknya kita sadar bahwa pepatah “Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung” mungkin akan selamanya terdengar klise, tapi kian relevan hari ini, terutama ketika makin banyak orang merasa berhak menafsirkan ulang arti ‘kebebasan’, tanpa peduli dampaknya pada orang lain.
Saya sendiri enggak tahu apakah di Amerika ada peribahasa yang sepadan, tapi seandainya belum ada, mungkin sudah waktunya dibuat karena kadang, tragedi paling nyata justru dimulai dari ilusi kebebasan yang tidak tahu batas.